Kamis, 19 Desember 2013

Iklan Rokok Di Televisi

Pada suatu hari, ada 3 anak kecil yang bermain bersama di sebuah taman bermain yang besar dan lebar. Setelah beberapa jam bermain, 3 anak itu terlihat lelah. Karena lelah, 3 anak itu memutuskan untuk membeli es krim yang kebetulan sedang berhenti di hadapan anak anak.

               Rafi : "Pak, saya ingin beli es krim"
               Penjual : "Yang rasa apa, Dik?"
               Rafi : "Anu, yang rasa Strawberry. Kalau kamu pesan apa, Zak?"
               Zaky : "Kalau saya yang coklat aja"
               Cakil : "Saya pesan yang rasa Vanilla dan cone 1" (menunjuk pesanan)
              
Si penjual es krim terlihat ceria. Karena, baru kali ini penjual itu mendapat pemesan es krim. Penjual itu kemudian meminta uang. 3 anak tersebut dengan ikhlas menerima uang kembaliannya dan juga es krim yang mereka pesan.

               Penjual : "Ini kembaliannya, Dik"
               Cakil : "Terima kasih juga, Pak. (menghirup sesuatu) Pak, es krimnya kok bau asap?"
               Zaky : "Ya, kenapa memangnya Pak?"
               Penjual : "Itu karena saya merokok selama 12 tahun" (menyalakan korek)
               3 Anak : (kaget, lalu menepuk tangan ke kepala seperti goyang Oplosan) "Merokok?"
               Penjual : "Betul sekali, Dik"
               3 Anak : "Lari, es krim kita bau rokok" (melarikan diri)
               Penjual : (menjalankan gerobaknya) "Kembali dik!! Ayo kembali!"

Tulisan yang saya tulis, itu tentu bukan iklan rokok yang disiarkan di televisi. Tetapi, drama ini menceritakan tentang seorang penjual es krim yang sudah 12 tahun merokok. Justru, kasus itu membuat pembelinya kaget dan melarikan diri, karena rokok yang dihirup si penjual. Mengingat drama ini, masih banyak televisi di Indonesia yang menayangkan iklan rokok.

Penyensoran adegan merokok/rokok/yang berhubungan dengan rokok yang ditampilkan di TV. Sejujurnya saya bingung dengan aturan ini. Saya tahu tujuannya baik, seperti yang sudah dilakukan dengan gencar oleh pemerintah melalui berbagai peraturan dari berbagai tingkat, terutama yang terbanyak melalui perda atau peraturan daerah yang mengatur kawasan bebas rokok. Namun tujuan pemerintah untuk menyehatkan negara ini dengan mengurangi perokok aktif melalui penyensoran rokok/orang yang merokok/sejenisnya, efektifkah?

Kalau dibilang agar anak kecil tidak merokok atau mengurangi remaja/yang lebih muda dari remaja menjadi perokok, saya berpendapat hal ini akan memicu anak kecil yang rasa keingintahuannya tinggi itu untuk mencari tahu lebih dalam dan bahkan lebih ekstremnya, mencoba merokok sekalian. Saya yang tidak pernah merokok saja bingung kenapa tangan si bapak penjual gorengan itu tiba-tiba menjadi buram, sampai akhirnya saya mengetahui dari gerakan tangannya yang mendekat ke mulutnya, bahwa si penjual gorengan itu merokok. Nah, bagaimana kalau anak kecil yang menonton acara yang kebetulan jam tayangnya itu bisa dijangkau oleh anak kecil (pagi hari) bertanya kepada orang tuanya, “itu kenapa tangannya kok buram?”

Mungkin orang tuanya akan menjawab dengan santai. “Merokok.” Dan mungkin anak ini akan diam, terutama jika orang tuanya tidak terlalu dekat dengannya. Si anak ini akan menyimpan berbagai pertanyaan seperti apa itu merokok? Bagaimana cara melakukannya? Contohnya seperti apa? Dan mungkin beberapa lagi. Masalahnya anak kecil belum menjadi orang yang kritis, atau tingkat kekritisannya masih belum setinggi kita yang dewasa. Kebanyakan anak kecil tidak memikirkan dampak. Lihat saja anak kecil yang suka bermain “sembarangan” di jalanan kampung atau di tempat-tempat yang kita anggap berbahaya. Mereka belum mengenal dampak atau bahaya. Yang mereka kenal adalah coba dan senang, karena dunia mereka adalah dunia bermain yang menyenangkan dan ingin tahu segalanya, belum memikirkan dampak.

Jadi, alih-alih mengurangi, ini akan membuat anak kecil semakin penasaran untuk mencari rokok dan mencari tahu cara menggunakannya. Untuk saya, satu-satunya cara yang paling efektif di media televisi untuk upaya mengurangi jumlah perokok adalah dengan mengurangi atau sekaligus menghapuskan yang bernada dukungan terhadap rokok. Iklan atau sponsor misalnya. Pemerintah terdahulu sudah menerapkan aturan yang bagus, dari yang sebelumnya iklan rokok boleh tayang di jam berapapun juga, sekarang hanya menjadi 21.30-tengah malam WIB (yang artinya kalau TVnya TV nasional maka di Papua dan wilayah lain yang berwaktu Indonesia Timur mendekati jam 07.00 masih ada iklan rokok, terjadi setiap Ramadhan). Aturan bahwa rokok dan adegan merokok tidak boleh diperagakan dalam iklan produk rokok juga sudah cukup baik. Tapi kalau mau ditegaskan sekalian, larang saja rokok memasang iklan di TV. Untuk adegan merokok, biarkan saja tetap tayang, karena realitanya keuangan negara ini juga terbantu dengan orang-orang yang merokok ini, malah bukan terbantu lagi, tapi sangat membantu.

Dan jika adegan merokok tetap tayang, untuk saya bukan TVnya yang disensor, tapi orang tua sebagai yang paling bisa mengawasi tontonan anaknya lah yang perlu diedukasi. Pemerintah harus aktif mengingatkan kepada orang tua (terutama yang tidak merokok) untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada anak-anaknya untuk tidak merokok juga. Contoh bahwa orang tua tidak merokok sebetulnya sudah sangat efektif untuk mencegah anak-anak merokok. Namun contoh saja tidak cukup. Harus (lagi-lagi) diberi pengertian agar tidak merokok. Perkara melarang atau tidak, terserah orang tuanya.

Yang terpenting anak sudah diberi pengertian untuk tidak merokok. Dan satu lagi yang perlu di-pengertian-kan, anak ini (jika memang orang tua ingin anaknya tidak merokok) diajarkan untuk tidak membenci perokok. Mungkin sama seperti ketika kita memberi pengertian melalui slogan “Jauhi virusnya, bukan orangnya.” Untuk perokok, mungkin kita bisa membuat slogan “jauhi rokok dan asapnya, bukan perokoknya.”
.


1 komentar: