Pada suatu hari, ada 3 anak kecil yang bermain bersama di sebuah taman bermain yang besar dan lebar. Setelah beberapa jam bermain, 3 anak itu terlihat lelah. Karena lelah, 3 anak itu memutuskan untuk membeli es krim yang kebetulan sedang berhenti di hadapan anak anak.
Rafi : "Pak, saya ingin beli es krim"
Penjual : "Yang rasa apa, Dik?"
Rafi : "Anu, yang rasa Strawberry. Kalau kamu pesan apa, Zak?"
Zaky : "Kalau saya yang coklat aja"
Cakil : "Saya pesan yang rasa Vanilla dan cone 1" (menunjuk pesanan)
Si penjual es krim terlihat ceria. Karena, baru kali ini penjual itu mendapat pemesan es krim. Penjual itu kemudian meminta uang. 3 anak tersebut dengan ikhlas menerima uang kembaliannya dan juga es krim yang mereka pesan.
Penjual : "Ini kembaliannya, Dik"
Cakil : "Terima kasih juga, Pak. (menghirup sesuatu) Pak, es krimnya kok bau asap?"
Zaky : "Ya, kenapa memangnya Pak?"
Penjual : "Itu karena saya merokok selama 12 tahun" (menyalakan korek)
3 Anak : (kaget, lalu menepuk tangan ke kepala seperti goyang Oplosan) "Merokok?"
Penjual : "Betul sekali, Dik"
3 Anak : "Lari, es krim kita bau rokok" (melarikan diri)
Penjual : (menjalankan gerobaknya) "Kembali dik!! Ayo kembali!"
Tulisan yang saya tulis, itu tentu bukan iklan rokok yang disiarkan di televisi. Tetapi, drama ini menceritakan tentang seorang penjual es krim yang sudah 12 tahun merokok. Justru, kasus itu membuat pembelinya kaget dan melarikan diri, karena rokok yang dihirup si penjual. Mengingat drama ini, masih banyak televisi di Indonesia yang menayangkan iklan rokok.
Penyensoran adegan merokok/rokok/yang berhubungan dengan rokok yang ditampilkan di TV.
Sejujurnya saya bingung dengan aturan ini. Saya tahu tujuannya baik,
seperti yang sudah dilakukan dengan gencar oleh pemerintah melalui
berbagai peraturan dari berbagai tingkat, terutama yang terbanyak
melalui perda atau peraturan daerah yang mengatur kawasan bebas rokok.
Namun tujuan pemerintah untuk menyehatkan negara ini dengan mengurangi
perokok aktif melalui penyensoran rokok/orang yang merokok/sejenisnya,
efektifkah?
Kalau dibilang agar anak
kecil tidak merokok atau mengurangi remaja/yang lebih muda dari remaja
menjadi perokok, saya berpendapat hal ini akan memicu anak kecil yang
rasa keingintahuannya tinggi itu untuk mencari tahu lebih dalam dan
bahkan lebih ekstremnya, mencoba merokok sekalian. Saya yang tidak pernah merokok saja bingung kenapa tangan si bapak penjual
gorengan itu tiba-tiba menjadi buram, sampai akhirnya saya mengetahui
dari gerakan tangannya yang mendekat ke mulutnya, bahwa si penjual
gorengan itu merokok. Nah, bagaimana kalau anak kecil yang menonton
acara yang kebetulan jam tayangnya itu bisa dijangkau oleh anak kecil
(pagi hari) bertanya kepada orang tuanya, “itu kenapa tangannya kok
buram?”
Mungkin orang tuanya akan menjawab dengan santai. “Merokok.” Dan mungkin anak ini akan diam,
terutama jika orang tuanya tidak terlalu dekat dengannya. Si anak ini
akan menyimpan berbagai pertanyaan seperti apa itu merokok? Bagaimana cara
melakukannya? Contohnya seperti apa? Dan mungkin beberapa lagi.
Masalahnya anak kecil belum menjadi orang yang kritis, atau tingkat
kekritisannya masih belum setinggi kita yang dewasa. Kebanyakan anak
kecil tidak memikirkan dampak. Lihat saja anak kecil yang suka bermain
“sembarangan” di jalanan kampung atau di tempat-tempat yang kita anggap
berbahaya. Mereka belum mengenal dampak atau bahaya. Yang mereka kenal
adalah coba dan senang, karena dunia mereka adalah dunia bermain yang
menyenangkan dan ingin tahu segalanya, belum memikirkan dampak.
Jadi, alih-alih mengurangi, ini akan membuat anak kecil semakin
penasaran untuk mencari rokok dan mencari tahu cara menggunakannya.
Untuk saya, satu-satunya cara yang paling efektif di media televisi
untuk upaya mengurangi jumlah perokok adalah dengan mengurangi atau
sekaligus menghapuskan yang bernada dukungan terhadap rokok. Iklan atau
sponsor misalnya. Pemerintah terdahulu sudah menerapkan aturan yang
bagus, dari yang sebelumnya iklan rokok boleh tayang di jam berapapun
juga, sekarang hanya menjadi 21.30-tengah malam WIB (yang artinya kalau
TVnya TV nasional maka di Papua dan wilayah lain yang berwaktu
Indonesia Timur mendekati jam 07.00 masih ada iklan rokok, terjadi setiap Ramadhan). Aturan bahwa
rokok dan adegan merokok tidak boleh diperagakan dalam iklan produk
rokok juga sudah cukup baik. Tapi kalau mau ditegaskan sekalian, larang
saja rokok memasang iklan di TV. Untuk adegan merokok, biarkan saja
tetap tayang, karena realitanya keuangan negara ini juga terbantu dengan orang-orang yang merokok ini, malah bukan terbantu lagi, tapi sangat membantu.
Dan jika adegan merokok tetap tayang, untuk saya bukan TVnya yang
disensor, tapi orang tua sebagai yang paling bisa mengawasi tontonan
anaknya lah yang perlu diedukasi. Pemerintah harus aktif mengingatkan
kepada orang tua (terutama yang tidak merokok) untuk memberikan
pemahaman yang tepat kepada anak-anaknya untuk tidak merokok juga.
Contoh bahwa orang tua tidak merokok sebetulnya sudah sangat efektif
untuk mencegah anak-anak merokok. Namun contoh saja tidak cukup. Harus
(lagi-lagi) diberi pengertian agar tidak merokok. Perkara melarang atau
tidak, terserah orang tuanya.
Yang terpenting anak sudah diberi
pengertian untuk tidak merokok. Dan satu lagi yang perlu
di-pengertian-kan, anak ini (jika memang orang tua ingin anaknya tidak
merokok) diajarkan untuk tidak membenci perokok. Mungkin sama seperti
ketika kita memberi pengertian melalui slogan “Jauhi virusnya, bukan
orangnya.” Untuk perokok, mungkin kita bisa membuat slogan “jauhi rokok
dan asapnya, bukan perokoknya.”
.
TEST..
BalasHapus